“Ayo bangsa Indonesia! Dengan jiwa yang berseri-seri, mari berjalan terus! Jangan berhenti, revolusimu belum selesai!”
(Ir. Soekarno).
Nusantara meradang! Bahaya disintegrasi hasil berbagai kegagalan kian mengancam. Kecurigaannya, faktor kinerja pemerintah! Ekonomi memburuk, gejala kelangkaan pangan, tikung menikung buas membudaya, terorisme kian bertoleransi, isu negara agama seliweran. Belum lagi polemik perwujudan Jaminan Sosial (Jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian). Ironisnya lagi, generasi cerdas masa kini malah keranjingan apatis sembari autis. Fenomena memilukan yang menciderai cita-cita Dr. Sutomo, Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker, juga petarung-petarung kemerdekaan terdahulu. Sampai kapan terpuruk?
Telisik puluhan tahun lalu. Perang Jawa, pimpinan Pangeran Diponegoro. Bermula penindasan rakyat kecil ulah Patih Danurejo hingga permasalahan pribadi Pahlawan Goa Selarong itu dengan Belanda yang mengubah jalur jalan, melintasi makam leluhurnya dan memasang patok. Anggapan Belanda persoalan sepele, bagi putra sulung Hamengkubuwana III itu sangat melukai dan menginjak-injak harga diri. Tanpa gentar ia menyuruh bawahannya mencabut patok dan menyatakan perang terbuka. Rasa persaudaraan Jawa menjulang membara! Terdorong teladan juga keberanian sang ksatria Tegalrejo. Slogannya, “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati” (Sejari kepala, sejengkal tanah dibela sampai mati).
Pertempuran melelahkan pun bergejolak selama lima tahun (1825-1830). Belanda merugi 20 juta gulden, sampai harus mengirimkan pasukan tambahan dari Aceh demi memburu Raden Mas Ontowiryo. Menurut dokumen sejarah Belanda kutipan para ahli; 8.000 serdadu tewas, 7000 Pribumi penghianat terbujur kaku akibat kobaran komando Diponegoro, Kyai Maja, Pangeran Mangkubumi, Panglima Sentot Alibasya dan dua belas darah biru lainnya. Dari Selarong, 200.000 nyawa melayang. Pangeran kalah segi korban jiwa, namun Jawa bangkit! Pejuang alim itu akhirnya “tertangkap”, diasingkan ke Manado dan wafat di kampung Jawa, Makassar. (http://id.wikipedia.org).
Lain lagi kisah Raja Sisingamangaraja XII. Sebelum dijajah, Tapanuli dikuasai raja-raja huta (kampung) yang berhak memutuskan berbagai kepentingan. Perbudakan serta pemasungan sering dilakukan dengan alasan samar. Patuan Bosar gerah lalu mengupayakan konsolidasi demi menghentikan praktek keji tersebut, dan ia berhasil! Prestasi itu memicu berbagai wilayah semakin mengakuinya sebagai raja tanah batak, tidak hanya Bakkara. Ia sosok bijak, peduli HAM juga Pluralis.
Belanda datang merampas rempah-rempah dan memungut pajak. Ompu Pulo Batu yang ditabalkan jadi raja sejak usia 17 tahun itu tidak terima rakyatnya diperas! Para bule sempat mengajukan perundingan, Sri Maha Raja kharismatik itu menolak lalu menghimpun rapat raksasa di Pasar Balige, memutuskan; Perang terhadap Belanda, Zending agama tidak diganggu, Menjalin kerjasama Batak dan Aceh melawan Belanda. Dengan gagah berani ia bersama puluhan hulubalang, pejuang Aceh, dan rakyat menebas ratusan sibontar mata (si mata putih). Perang berlangsung 30 tahun (1877-1907), berujung pada kematian. Namun derajat dan semangat Bona Pasogit kian bangkit! Sebelum tertembak beliau sempat berdoa, “Tuhan, lindungilah bangsaku ini.”
Pasca perjuangan kedaerahan, 20 Mei 1908, menjadi derap awal geliat juang nasional. Dipelopori Budi Utomo, mulanya hanya sebatas Jawa hingga mengalir tak terbendung. Buahnya, 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda! Ribuan anak bangsa bersatu padu teriakkan “Kami satu, Indonesia!”. Sejak itu, strategi dan langkah kongkrit kebangkitan semakin terang-terangan digerakkan. Puncaknya, Bung Karno dan Bung Hatta dengan tegas menyatakan Proklamasi 17 Agustus 1945. Merdeka! Merdeka! Itulah fakta kepahlawanan masa lampau. Bangkit dari terjajah menjadi pemenang.
.
Kini gairah dan getaran kebangkitan itu labil bahkan menurun drastis. Boro-boro mikirin negara! Kuliah aja masih berantakan, makan dan cari kerja susah, biaya sekolah anak mahal, suami sering lembur, istri makin senang mengeluh, penguasa sibuk pencitraan, bangun gedung di tengah rakyat yang kian terlunta dampak korupsi infrastruktur. Ah! Jangan bicara nasionalismelah kalau begitu, bung! Eitss, tunggu! Siapa bilang pemuda-pemudi pemberani di masa lalu itu tidak bergumul soal masa depan pribadi; siapa pacarku nanti, mau gaji berapa kalau bekerja, dan beragam keluhan lain yang kita gemborkan sampai detik ini.
Jepang dan Perancis pernah krisis kebangsaan. Lewat Restorasi Meiji dan Revolusi Industri mereka kini menuai hasil. Kuncinya; kepedulian senasib dan sesama, berani melakukan perubahan, siap jadi teladan serta sinergis kaum muda dan tua. Kita pernah melakukan hal yang sama, bahu membahu menyemarakkan Reformasi 1998 dan mesti selalu digelorakan demi Indonesia yang lebih berarti. Yuk! Sama-sama semakin saling peduli dan senantiasa mengembangkan diri. Bangkit!
Nusantara meradang! Bahaya disintegrasi hasil berbagai kegagalan kian mengancam. Kecurigaannya, faktor kinerja pemerintah! Ekonomi memburuk, gejala kelangkaan pangan, tikung menikung buas membudaya, terorisme kian bertoleransi, isu negara agama seliweran. Belum lagi polemik perwujudan Jaminan Sosial (Jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian). Ironisnya lagi, generasi cerdas masa kini malah keranjingan apatis sembari autis. Fenomena memilukan yang menciderai cita-cita Dr. Sutomo, Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker, juga petarung-petarung kemerdekaan terdahulu. Sampai kapan terpuruk?
Telisik puluhan tahun lalu. Perang Jawa, pimpinan Pangeran Diponegoro. Bermula penindasan rakyat kecil ulah Patih Danurejo hingga permasalahan pribadi Pahlawan Goa Selarong itu dengan Belanda yang mengubah jalur jalan, melintasi makam leluhurnya dan memasang patok. Anggapan Belanda persoalan sepele, bagi putra sulung Hamengkubuwana III itu sangat melukai dan menginjak-injak harga diri. Tanpa gentar ia menyuruh bawahannya mencabut patok dan menyatakan perang terbuka. Rasa persaudaraan Jawa menjulang membara! Terdorong teladan juga keberanian sang ksatria Tegalrejo. Slogannya, “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati” (Sejari kepala, sejengkal tanah dibela sampai mati).
Pertempuran melelahkan pun bergejolak selama lima tahun (1825-1830). Belanda merugi 20 juta gulden, sampai harus mengirimkan pasukan tambahan dari Aceh demi memburu Raden Mas Ontowiryo. Menurut dokumen sejarah Belanda kutipan para ahli; 8.000 serdadu tewas, 7000 Pribumi penghianat terbujur kaku akibat kobaran komando Diponegoro, Kyai Maja, Pangeran Mangkubumi, Panglima Sentot Alibasya dan dua belas darah biru lainnya. Dari Selarong, 200.000 nyawa melayang. Pangeran kalah segi korban jiwa, namun Jawa bangkit! Pejuang alim itu akhirnya “tertangkap”, diasingkan ke Manado dan wafat di kampung Jawa, Makassar. (http://id.wikipedia.org).
Lain lagi kisah Raja Sisingamangaraja XII. Sebelum dijajah, Tapanuli dikuasai raja-raja huta (kampung) yang berhak memutuskan berbagai kepentingan. Perbudakan serta pemasungan sering dilakukan dengan alasan samar. Patuan Bosar gerah lalu mengupayakan konsolidasi demi menghentikan praktek keji tersebut, dan ia berhasil! Prestasi itu memicu berbagai wilayah semakin mengakuinya sebagai raja tanah batak, tidak hanya Bakkara. Ia sosok bijak, peduli HAM juga Pluralis.
Belanda datang merampas rempah-rempah dan memungut pajak. Ompu Pulo Batu yang ditabalkan jadi raja sejak usia 17 tahun itu tidak terima rakyatnya diperas! Para bule sempat mengajukan perundingan, Sri Maha Raja kharismatik itu menolak lalu menghimpun rapat raksasa di Pasar Balige, memutuskan; Perang terhadap Belanda, Zending agama tidak diganggu, Menjalin kerjasama Batak dan Aceh melawan Belanda. Dengan gagah berani ia bersama puluhan hulubalang, pejuang Aceh, dan rakyat menebas ratusan sibontar mata (si mata putih). Perang berlangsung 30 tahun (1877-1907), berujung pada kematian. Namun derajat dan semangat Bona Pasogit kian bangkit! Sebelum tertembak beliau sempat berdoa, “Tuhan, lindungilah bangsaku ini.”
Pasca perjuangan kedaerahan, 20 Mei 1908, menjadi derap awal geliat juang nasional. Dipelopori Budi Utomo, mulanya hanya sebatas Jawa hingga mengalir tak terbendung. Buahnya, 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda! Ribuan anak bangsa bersatu padu teriakkan “Kami satu, Indonesia!”. Sejak itu, strategi dan langkah kongkrit kebangkitan semakin terang-terangan digerakkan. Puncaknya, Bung Karno dan Bung Hatta dengan tegas menyatakan Proklamasi 17 Agustus 1945. Merdeka! Merdeka! Itulah fakta kepahlawanan masa lampau. Bangkit dari terjajah menjadi pemenang.
.
Kini gairah dan getaran kebangkitan itu labil bahkan menurun drastis. Boro-boro mikirin negara! Kuliah aja masih berantakan, makan dan cari kerja susah, biaya sekolah anak mahal, suami sering lembur, istri makin senang mengeluh, penguasa sibuk pencitraan, bangun gedung di tengah rakyat yang kian terlunta dampak korupsi infrastruktur. Ah! Jangan bicara nasionalismelah kalau begitu, bung! Eitss, tunggu! Siapa bilang pemuda-pemudi pemberani di masa lalu itu tidak bergumul soal masa depan pribadi; siapa pacarku nanti, mau gaji berapa kalau bekerja, dan beragam keluhan lain yang kita gemborkan sampai detik ini.
Jepang dan Perancis pernah krisis kebangsaan. Lewat Restorasi Meiji dan Revolusi Industri mereka kini menuai hasil. Kuncinya; kepedulian senasib dan sesama, berani melakukan perubahan, siap jadi teladan serta sinergis kaum muda dan tua. Kita pernah melakukan hal yang sama, bahu membahu menyemarakkan Reformasi 1998 dan mesti selalu digelorakan demi Indonesia yang lebih berarti. Yuk! Sama-sama semakin saling peduli dan senantiasa mengembangkan diri. Bangkit!
0 Komentar:
Posting Komentar